Peta Negosiasi Raksasa Tambang Papua: Freeport Rela Lepas 12% Saham Demi Masa Depan Grasberg
INFO Kumurkek- Peta kekuatan dan negosiasi di blok tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, Grasberg, Papua, kembali memasuki babak baru yang menentukan. Pasca-kesepakatan strategis pelepasan 12% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh raksasa tambang AS, Freeport-McMoRan (FCX), kepada Pemerintah Indonesia, sebuah agenda yang lebih besar segera mencuat: memperpanjang hak operasi tambang melampaui batas waktu 2041.

Baca Juga : Satgas Damai Cartenz Bongkar Sel Logistik KKB Di Pegunungan Tengah Papua
Dari Mayoritas Menuju Dominasi: Peta Kepemilikan yang Berubah
Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah memegang posisi mayoritas 51% saham PTFI. Dengan akuisisi tambahan 12% ini, peta kepemilikan bergeser secara signifikan. Pemerintah kini akan menguasai 63% saham PTFI, memperkokoh kendali atas aset strategis nasional ini. Sisa 37% saham tetap dipegang oleh Freeport-McMoRan.
Yang menarik, menurut keterangan CEO Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), Rosan Perkasa Roeslani, akuisisi saham tambahan ini tidak akan menguras kas negara. Dalam pertemuan langsung di Amerika Serikat dengan pimpinan puncak Freeport, termasuk Chairman Richard Adkerson dan CEO Kathleen Quirk, disepakati bahwa 12% saham tersebut diserahkan secara free of charge atau cuma-cuma.
“Rencana awalnya penambahan saham pemerintah adalah 10%. Namun, setelah melalui proses negosiasi yang alot, kesepakatan akhirnya ditingkatkan menjadi 12%,” ujar Rosan, seperti dikutip dari detikcom.
Lebih dari Sekadar Saham: Komitmen Pembangunan Papua
Namun, transaksi ini ternyata tidak hanya berhenti pada angka persentase saham. Freeport juga menyepakati komitmen tambahan yang bersifat jangka panjang untuk pembangunan sumber daya manusia di Papua. Perusahaan berkomitmen untuk membangun dua universitas dan dua rumah sakit di tanah Papua.
“Ini tujuannya untuk meningkatkan peran dan kapasitas masyarakat lokal, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan,” tambah Rosan. Komitmen ini dilihat sebagai bagian dari “paket lengkap” negosiasi yang tidak hanya fokus pada kepemilikan modal, tetapi juga pada tanggung jawab sosial dan keberlanjutan.
Momentum Negosiasi di Tengah Turbulensi Operasional
Negosiasi perpanjangan kontrak pasca-2041 ini mendapatkan momentumnya setelah Freeport menyatakan keadaan force majeure di tambang Grasberg pada awal September, menyusul insiden tanah longsor. Insiden tersebut diperkirakan akan mengganggu operasional normal tambang hingga tahun 2027.
Kondisi ini tidak hanya menjadi pukulan bagi produksi Freeport tetapi juga berpotensi mengencangkan pasokan tembaga global, yang dapat mempengaruhi harga komoditas ini di pasar dunia. Dalam situasi inilah, negosiasi untuk masa depan tambang pasca-2041 menjadi semakin krusial bagi kedua belah pihak.
Masa Depan Grasberg: Sebuah Permainan Strategi Jangka Panjang
Melalui juru bicaranya yang dikutip Reuters, Freeport mengonfirmasi bahwa kedua pihak sedang berupaya mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan semua pemangku kepentingan. Perusahaan berjanji akan mengeluarkan pengumuman resmi setelah semua detail kesepakatan final diselesaikan.
Dengan kepemilikan 63%, posisi tawar Indonesia dalam negosiasi perpanjangan kontrak ini menjadi jauh lebih kuat. Pelepasan 12% saham oleh Freeport dapat dilihat sebagai sebuah langkah strategis “memberi untuk menerima” (give and take) yang lebih besar, yaitu kepastian hukum dan operasi untuk beberapa dekade mendatang.
Kesepakatan ini bukan lagi sekadar transaksi jual-beli saham, melainkan sebuah tata kelola baru yang menempatkan Indonesia sebagai pemain utama di meja hulu, sambil memastikan investasi dan transfer teknologi dari Freeport terus berjalan untuk mengoptimalkan nilai tambah sumber daya alam bagi bangsa.
Masa Depan Grasberg: Negosiasi Berlanjut di Atas Puing Insiden
Freeport-McMoRan sendiri secara terbuka mengonfirmasi proses ini. Selain itu, seorang juru bicara perusahaan menyatakan bahwa kedua belah pihak sedang berupaya merancang kesepakatan yang menguntungkan semua pemangku kepentingan. Perusahaan berjanji akan mengumumkan hasilnya begitu negosiasi mencapai kata sepakat.
Di sisi lain, insiden tanah longsor awal September lalu ternyata mempengaruhi dinamika negosiasi. Akibatnya, Freeport terpaksa menyatakan force majeure dan memperkirakan operasi tambang tidak akan normal hingga 2027. Oleh karena itu, gangguan produksi ini menciptakan tekanan tersendiri bagi Freeport, sekaligus memperkuat posisi Indonesia. Sebagai hasilnya, kondisi ini memaksa kedua pihak untuk bekerja sama mengatasi ketidakpastian pasokan tembaga global.
Sementara itu, di kancah global, analis pasar komoditas memprediksi gangguan di Grasberg ini akan mengencangkan pasokan tembaga dunia. Akibatnya, harga logam industri itu berpotensi mengalami kenaikan dalam jangka menengah. Dengan demikian, stabilitas operasi Grasberg ke depan tidak hanya penting bagi Indonesia dan Freeport, tetapi juga bagi keseimbangan pasar global.
Singkatnya, langkah pemerintah mengamankan 12% saham tambahan dan komitmen pembangunan Freeport hanyalah bagian dari sebuah drama bisnis yang lebih besar.



