Masyarakat Adat Papua Pegunungan Bersikukuh Tolak Pembangunan Kompleks Perkantoran di Tanah Ulayat Wasalma
Info Kumurkek- Rencana Masyarakat Provinsi Papua Pegunungan untuk membangun 52 kantor Organisasi Perangkat Daerah OPD di Kampung Wasalma, Distrik Pisugi, Kabupaten Jayawijaya, menemui penolakan keras dari pemilik sah wilayah tersebut: masyarakat adat subsuku Alua-Marian dan Siep-Elosak. Penolakan ini bukan hanya sekadar wacana, melainkan pernyataan sikap tegas yang dilandasi oleh perlindungan terhadap hak ulayat dan kearifan lokal yang telah dipegang turun-temurun.
648c17230de52.jpg)
Baca Juga : Mohamad Lakotani Dikukuhkan Sebagai Ketua PMI Papua Barat Periode 2025-2030
Secara resmi mewakili suku mereka, Aolek Marian menyampaikan penolakan tersebut
Ia menegaskan bahwa tanah di Wasalma adalah tanah adat yang statusnya telah dikukuhkan dalam forum aliansi adat Hubula Nyaiwerek. “Keputusan ini adalah suara bersama. Tanah ini adalah warisan leluhur, bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk kepentingan pembangunan semata,” tegasnya di Wamena.
Penolakan ini bukanlah kali pertama muncul. Melvin Marian, perwakilan pemuda adat, mengungkapkan bahwa persoalan ini telah dibahas dalam enam pertemuan berbeda antara masyarakat adat dan pihak-pihak terkait. Hasil dari seluruh pertemuan tersebut selalu konsisten: larangan mutlak untuk melakukan transaksi jual-beli tanah di wilayah adat mereka.
“Namun, kami mencium adanya praktik tidak terpuji. Oknum-oknum tertentu diduga mengatasnamakan suku kami untuk melakukan transaksi gelap. Oleh karena itu, pada hari ini, kami subsuku Alua-Marian dan Siep-Elosak menyatakan penolakan tegas terhadap wacana pembangunan 52 Kantor OPD ini. Kami tidak pernah memberi mandat kepada siapapun,” papar Melvin dengan nada tegas.
Pernyataan itu juga disertai dengan peringatan serius
Masyarakat adat menyatakan bahwa jika pemerintah tetap memaksakan rencana tersebut dan kemudian timbul konflik atau hal-hal yang tidak diinginkan, maka pemerintah harus siap menanggung seluruh konsekuensinya. “Kami tidak akan terima. Kami meminta agar tidak ada lagi transaksi dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun di tanah kami,” tambahnya.
Penolakan serupa disuarakan oleh Minius Marian, perwakilan masyarakat lainnya. Ia tidak hanya bersandar pada hukum adat, tetapi juga pada hukum positif nasional. Ia menegaskan bahwa calon pembeli tidak memiliki hubungan historis dan kultural untuk “mengolah” atau menguasai tanah tersebut.
“Selain itu, kami dilindungi oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang secara jelas mengakui dan melindungi hak ulayat masyarakat adat. Atas dasar UU itu pula, kami menolak wacana dari pemerintah provinsi ini,” pungkas Minius, mengukuhkan penolakan mereka dengan landasan hukum yang kuat.
Situasi ini menjadikan proyek strategis pemerintah tersebut terhenti di tengah jalan. Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan kini dihadapkan pada pilihan yang sulit: memaksakan pembangunan dengan risiko melanggar hak adat dan memicu konflik, atau membuka kembali dialog yang lebih inklusif dan menghormati kedaulatan masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah tersebut.
pemerintah provinsi belum memberikan pernyataan resmi menanggapi penolakan ini. Akan tetapi, masyarakat adat telah menyiapkan langkah-langkah konkret
Pada awalnya, para kepala suku akan menggelar pertemuan darurat dengan seluruh marga. Tujuannya adalah untuk memperkuat kesepakatan dan solidaritas antarklan. Selain itu, mereka juga berencana mendatangi kantor gubernur untuk menyampaikan surat protes secara langsung.
Di samping itu, para pemuda secara aktif berjaga-jaga di sekitar wilayah Wasalma. Mereka bertujuan untuk memantau setiap aktivitas yang mencurigakan dan mencegah masuknya alat berat ke lokasi. Bahkan, aliansi adat Hubula Nyaiwerek telah menyatakan dukungan penuh dan siap mengerahkan seluruh anggotanya untuk berdemo secara damai jika pemerintah mengabaikan penolakan ini.
Sementara itu, kelompok masyarakat sipil dan LSM setempat mulai menarik perhatian media nasional
Mereka mendesak pemerintah pusat untuk turun tangan dan memediasi perselisihan ini. Alasannya jelas: memaksa pembangunan tanpa persetujuan masyarakat adat hanya akan memicu konflik horizontal yang berkepanjangan.
Pada akhirnya, nasib proyek ambisius ini sekarang berada di ujung tanduk. Kedua belah pihak memegang kunci untuk mencegah eskalasi. Masyarakat adat menuntut pengakuan dan penghormatan, sementara pemerintah menghadapi tantangan antara memacu pembangunan dan menegakkan hukum yang melindungi hak-hak warga negaranya. Keputusan berikutnya dari pemerintah provinsi akan menentukan apakah situasi ini mereda atau justru memanas.



