Pemerintah Perpanjang Izin Freeport Hingga Melampaui 2041, Ini Penjelasan Strategis Bahlil
INFO Kumurkek- Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, mengonfirmasi langkah strategis pemerintah untuk memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus IUPK PT Freeport Indonesia PTFI yang tenggat waktunya pada 2041. Tidak hanya sekadar perpanjangan, pemerintah juga menyiapkan syarat penting: penambahan porsi saham Indonesia lebih dari 10%, yang sebagian akan dialokasikan untuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Papua.

Baca Juga : Korban Tenggelam Di Pantai Tanjung Pistol Ditemukan Tewas
Kebijakan ini, menurut Bahlil, bukanlah keputusan instan, melainkan hasil pertimbangan matang yang mempertimbangkan masa depan industri pertambangan nasional dan kesejahteraan masyarakat Papua.
Alasan Dibalik Perpanjangan: Karakteristik Unik Tambang Bawah Tanah
Bahlil menegaskan bahwa alasan utama perpanjangan izin jauh sebelum batas waktu 2041 adalah karakteristik operasional tambang bawah tanah (underground) Freeport yang sangat berbeda dengan tambang terbuka (open pit).
“Kita harus mulai mempersiapkan perpanjangan IUPK Freeport sekarang karena kompleksitas tambang underground tidak bisa disamakan dengan open pit. Proses eksplorasi dan produksinya membutuhkan waktu yang sangat lama dan perencanaan yang sangat matang,” jelas Bahlil dalam paparannya di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta.
Ia memberikan gambaran yang jelas: “Produksi yang kita lihat pada periode 2020-2021 di tambang underground Freeport adalah buah dari proses eksplorasi yang dimulai sejak tahun 2004. Artinya, butuh waktu 10 hingga 15 tahun dari eksplorasi hingga bisa berproduksi penuh. Jika kita menunggu hingga mendekati 2041, sudah terlambat.”
Mencegah Penurunan Produksi dan Dampak Ekonomi Nasional
Menteri Bahlil memperingatkan konsekuensi serius jika perpanjangan izin tidak segera diputuskan. Berdasarkan proyeksi, puncak produksi PTFI akan terjadi pada tahun 2035. Setelah itu, tanpa perluasan area dan kepastian investasi jangka panjang untuk eksplorasi lebih lanjut, produksi akan mengalami penurunan signifikan.
“Bayangkan jika puncak produksi di 2035 tidak kita ikuti dengan kepastian operasi pasca-2041. Maka, grafik produksi akan melandai. Penurunan ini bukan hanya soal angka, tetapi akan berdampak langsung pada penerimaan negara, stabilitas lapangan kerja bagi ribuan tenaga kerja, dan tentunya geliat ekonomi di Papua maupun secara nasional,” tegas Bahlil. Langkah proaktif ini dinilai penting untuk menjaga stabilitas ekonomi yang ditopang oleh salah satu tambang tembaga dan emas terbesar di dunia tersebut.
Syarat Penting: Kenaikan Saham Indonesia di Atas 10% untuk Kedaulatan dan Kesejahteraan Papua
Yang tak kalah penting dari perpanjangan izin adalah tawaran strategis pemerintah untuk meningkatkan kepemilikan saham Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memegang kendali mayoritas sebesar 51%. Dalam pembahasan perpanjangan, pemerintah mengajukan penambahan saham sekitar lebih dari 10%.
“Atas arahan langsung Bapak Presiden Joko Widodo, kami telah menyampaikan tawaran ini. Salah satu poin utamanya adalah adanya penambahan saham sekitar di atas 10% untuk Indonesia,” terang Bahlil.
Yang membuat kebijakan ini istimewa adalah komitmen pemerintah untuk membagikan sebagian dari saham tambahan tersebut kepada BUMD Papua. “Peningkatan saham ini tidak hanya untuk pemerintah pusat. Sebagian akan diberikan kepada BUMD Papua, yang implementasinya akan terjadi pasca-2041. Ini adalah bentuk keadilan dan komitmen nyata untuk meningkatkan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat Papua sebagai pemilik sah sumber daya alam di tanah mereka,” pungkas Bahlil.
Kebijakan ini menegaskan komitmen pemerintah untuk tidak hanya menjaga kedaulatan negara atas sumber daya alam, tetapi juga memastikan manfaat ekonominya dirasakan langsung oleh daerah penghasil, membawa angin segar bagi pembangunan ekonomi Papua di masa depan.
Strategi Pemerintah untuk Masa Depan Freeport: Hilirisasi dan Penguatan SDM Lokal
Selanjutnya, Bahlil menjelaskan bahwa perpanjangan izin ini membuka pintu bagi langkah strategis berikutnya. Khususnya, pemerintah tidak hanya berfokus pada penambahan saham, tetapi juga mendorong program hilirisasi yang lebih dalam. Sebagai contoh, pihaknya mendorong PTFI untuk meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri sebelum melakukan ekspor.
“Kami sudah berdiskusi dengan manajemen Freeport mengenai pembangunan smelter tahap kedua. Dengan demikian, kita dapat memaksimalkan nilai ekonomi dari hasil tambang ini dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja terampil,” ujar Bahlil.
Di samping itu, aspek penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) lokal menjadi prioritas utama. Bahlil menekankan bahwa peningkatan kapasitas tenaga kerja Papua adalah kunci keberlanjutan. Oleh karena itu, pemerintah memasukkan klausul pelatihan dan alih teknologi yang lebih ketat dalam perjanjian yang baru.
“Komitmen kami sangat jelas. Misalnya, kami meminta peningkatan kuota dan percepatan kaderisasi pekerja Papua untuk menduduki posisi-posisi strategis. Hal ini akan menjamin manfaat operasional Freeport benar-benar mengakar di tanah Papua,” tambahnya.
Selain itu, langkah proaktif ini juga bertujuan memberikan kepastian hukum dan iklim investasi yang sehat. Bahlil berargumen bahwa kepastian bagi investor seperti Freeport justru menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang. Akibatnya, perusahaan dapat merencanakan investasi besar untuk eksplorasi dan teknologi dengan lebih percaya diri, yang pada ujungnya akan menstabilkan penerimaan negara.
“Pada intinya, semua kebijakan ini saling terhubung. Kepastian usaha mendorong investasi, investasi menciptakan lapangan kerja dan penerimaan negara, dan kita pastikan manfaatnya langsung dirasakan oleh rakyat Papua melalui peningkatan saham dan penguatan SDM. Dengan kata lain, ini adalah sebuah siklus yang berkelanjutan,” pungkas Bahlil menutup penjelasannya.



